Saturday, 8 June 2013

SAYA ADALAH TERDAKWA TERAKHIR DARI REGIM MILITER INDONESIA

   “cepat atau lambat setiap bangsa yang ditindas pasti akan memperoleh kemerdekaannya itu adalah hukum sejarah yang tidak dapat dipungkiri”

Sumber Gatra di Kepolisian Resort Dili menceritakan bahwa Constancio Dos Santos alias AQUITA terlihat tak gentar ketika diinterogasi. Ia tak ragu-ragu mengatakan bahwa bahan peledak itu akan digunakan untuk merebut kemerdekaan Timor Timur.

 
 
Saya dilahirkan disebuah pegunungan di Bazartete bagian barat dari kota Dili empat bulan setelah invasi pendudukan militer Indonesia, pada 22 April 1976. Ayah saya adalah seorang Polisi Militer-pada zaman Portugis, dan Ibu saya adalah seorang guru di sebuah desa bernama Caibada di Kota Baucau. Ketika masih kecil selama dua tahun sepuluh bulan saya bersama orang tua saya mengungsi ke hutan karena para pasukan TNI telah menguasai seluruh Kota Liquica dan Bazartete.
Pada bulan September 1979 Ibu saya bersama saya (masih bayi) menyerahkan diri kepada Tentara Nasional Indonesia setelah tiga tahun lima bulan berada di hutan akibat dari penyerangan dan penyerbuan Tentara Nasional Indonesia terhadap bangsa dan Tanah air Timor Leste. (Menurut cerita ibu saya waktu itu antara tahun 1975 sampai 1978 kami masih bertahan membuat perkebunan komunal yang dilakukan oleh FALINTIL dan rakyat. Namun karena tentara Indonesia semakin meningkatan operasi mereka di daerah Bazartete, Leorema, Nasuta dan Lebaloa. Pada Bulan September 1979 kami kehabisan makanan dan kehabisan air minum dan obat-obatan. Ibu saya waktu itu sudah tidak menyusui saya dengan air susu ibu tapi hanya dengan memberikan air jeruk kepada saya untuk bertahan hidup. Ibu bersama saya menyerahkan diri kepada militer Indonesia di District Liquica). Setelah itu pada bulan Desember setelah kematian Presiden Nicolau Lobato pada tanggal 31 ayah saya pun ikut menyerah diri kepada Tentara Indonesia pada Desember 1979.
Setelah kami berkumpul kembali kami berangkat ke Dili. Waktu itu saya berumur tiga tahun sesampainya di Dili empat bulan kemudian orang tua saya mnyerahkan saya kepada adik dari ayah saya, dan saya dibawa ke kota Baucau pada bulan mei 1980. Karena ayah saya juga adalah seorang komandan dari pasukan regular FALINTIL yang harus menjalani Tahanan rumah wajib lapor kepada TNI selama 6 tahun dari tahun 1980 sampai 1986. Waktu itu saya baru berumur empat tahun, saya dititipkan ke kota baucau bersama paman dan tante saya bernama Fransico Saldanha(Almarhum)dan Juleta Saldanha(almarhuma) kami tinggal di sebuah desa bernama Bruma. Menurut cerita ibu saya bahwa penitipan saya kepada paman saya karena ketika itu bapa baptis saya bernama Leopoldino Soriano ingin membawa saya ke Portugal namun karena saya dilahirkan dan dibesarkan dalam pertempuran antara Tentara Invasi Indonesia dan Pasukan FALINTIL yang dipimpim oleh ayah saya di bagian barat, ayah saya memutuskan agar saya tetap tinggal Timor-Leste untuk mengikut proses perjuangan FRETILIN menuju kemerdekaan dengan menitipkan saya ke paman saya di Baucau.
Paman saya adalah kepala sekolah di sebuah sekolah dasar di desa tersebut, disana didesa Bruma saya mulai belajar menulis dan membaca. Tiga tahun (1980-1983) saya tinggal bersama paman saya di desa Bruma bagian timur kota Baucau saya menyaksikan beberapa kejadian seperti penangkapan terhadap warga sipil oleh TNI. Satu hal yang membuat saya mulai mengetahui dan mengerti tentang semua kejadian yang terjadi adalah ketika saya bersama paman saya dan keluraga di desa Bruma mulai mengali lubang bawa tanah pada malam hari. Pengalian lubang bawa tanah itu untuk dijadikan tempat persembunyian guna mengantisipasi jika terjadi kontak senjata antara TNI dan FALINTIL.
Pada tahun akhir 1983 saya kembali ke Dili dan tinggal bersama orang tua saya di Dili, ketika itu Ibu saya telah kembali bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar Dili, dan saya pun melanjutan sekolah dasar di tempat dimana ibu saya mengajar. Setelah menyelesaikan SD pada tahun 1989 saya melanjutkan SMP di Extarnato de Sao Jose sebuah sekolah peningalan Portugis di Dili. Dari sekolah tersebut saya mulai merasa lebih dekat dengan gerakan klandistin karena disekolah tersebut kami di ajarkan sejarah perjuangan dan bagaimana melibatkan diri dalam gerakan klandistin. Semua itu berlangsung di dalam gedung Extarnato de Sao Jose. Disekolah tersebut saya hanya menyelesaikan terceiro ano lectivo (SMP), namun sekolah tersebut ditutup pada tahun 1992, karena sekolah tersebut mendapat tekanan dari pemerintah Indonesia sebagai sekolah yang selalu memimpin aksi demonstrasi dikota Dili. Dan saya bersama beberapa teman harus melanjutkan SMA di SMA 17 Juli Glenu distrik Ermera.
Ketika itu telah ada kontak dengan para gerilywan FALINTIL yang dipimpin Ernesto Fernandez di Distrik Ermera, dengan jaringan yang telah dibangun dengan para gerilyawan FALINTIL saya tidak memikirkan masadepan saya, saya lebih memikirkan perjuangan menuju kemerdekaan dari pada keinginan pribadi. Hal itu yang terjadi terhadap semua generasi muda Timor-Leste yang aktif dalam klandistin melalui sel-sel organisasi, kami tidak peduli akan kehilangan pendidikan kami semangat juang dan keberanian untuk memberikan segalanya demi perjuangan kemerdekaan bahkan nyawa sekalipun kami tidak peduli. Karena kami yakin bahwa kematian kami akan membawa kemenangan bangsa Maubere yang telah dijajah selama 450 tahun menderita dibawa kolonilis Portugis tidak harus dan tidak boleh diganti dengan kolonialis baru.
Dengan semangat juang yang begitu membara generasi muda sebagai penerus perjuangan terus mengkonsolidasikan diri dalam organisasi klandistin dalam setiap aksi dengan segala cara agar dapat membentuk opini nasional maupun internasional melalui aksi demonstrasi menghadapi setiap kunjungan delegasi asing atau para jornalis yang dating mengunujugi Timor-Leste.
Tahun 1989 adalah tahun kebangkitan kembali generasi muda dan rakyat Timor Leste. Kebangkitan itu adalah merupakan keberhasilan dari jaringan klandistin yang dibangun guna memobilisir semua pemuda dan rakyat Maubere bersatu menuju aksi. Waktu itu saya masih berumur tiga belas tahun, dengan usia belasan tahun itu saya mulai mengenal aksi demonstrasi dan mengenal nama organisasi pemuda dalam pergerakan klandistin yaitu organ nomor 8 dan organisasi pemuda OJECTIL, aksi demonstrasi itu digerakan untuk menentang pendudukan Militer Indonesia selama sepuluh tahun atas Timor-Leste. Dalam rangka menyambut kedatangan Kedubes Amerika Serikat dari Jakarta yang berkunjung ke Dili selama beberapa hari.
Aksi demonstrasi tersebut merupakan aksi terbesar pertama dikota setelah insureksi yang dinamakan Movimento Libertacao Timor Dili (MLTD) pada tanggal 10 juni 1980 yang mengakibatkan beberapa pemuda dan rakyat terutama yang tinggal pesisir kota Dili dekat pegunungan ditangkap dan dipenjara dan ada yang dihilangkan.
Demonstrasi pertama di Dili Timor-Leste setelah 13 tahun okupasi militer Indonesia Aksi tersebut berlangsung di depan hotel Tourismo. ketika aksi damai itu sedang berlangsung secara damai beberapa kawan-kawan ditangkap oleh polisi Indonesia dan TNI (ABRI), kawan-kawan yang lain dalam pengejarkan oleh ABRI. Di depan hotel saya menyaksikan penangkapan dan pemukulan terhadap kawan-kawan yang berada di garis depan seperti Julio Mausiri dan yang lainnya. Dari penangkapan dan pemukulan terhadap kawan-kawan yang berada digaris depan mengingatkan saya ketika saya masih kecil di desa Buruma-Baucau pada 1980 sampai dengan 1983.
Dari aksi tersebut saya mulai mengenal Jose Manuel Fernandez (Nakfilak), Gregorio Saldanha, Adano (Pedro Klamar-aat), saudoso Pai-Zitu (Sereleu), Jose Sousa, Ciquito Panglima, Juliao Mausiri, Aleixo Cobra, Franscelino, Betinho Albuquerque, Deonisio da Silva, Joao Bosco Carceres, Antonio Aitahan Matak, Eusebio Busa Metan, Karlitu, Atino Breok, Apeu kuluhun (Matebian), Abilio Mesquita dan semua kawan-kawan seperjuangan yang selalu bersama di Externato de Sao Jose Balide.
Ketika itu jaringan klandestin yang dibangun oleh organ 8 dan OJECTIL di Timor-Leste dipimpin oleh Bilimau/Laloran (Nunu Corvelho) dan Comite Executivo/CE diketuai oleh Constancio Pintu dan Jose Manuel Fernandez (Nakfilak) sebagai penanggungjawab Juventude yang bertanggungjawab atas mobilisasi semua kekuatan pemuda untuk aksi demonstrasi di kota Dili. Sedangkan di Indonesia-Bali dan Jawa jaringan atau perwakilan OJECTIL yang diwakili oleh Shalar Kossi FF dan para mahasiswa telah mendirikan RENETIL sebagai organisasi mahasiswa untuk memperkuat barisan perjuangan di kalangan mahasiswa.
Pada 12 Oktober 1989 adalah kunjungan Paus Yohanes II ke Dili, dan acara penyelenggaraan misa diadakan di Tasi Tolu. Dalam perayaan misa yang dipimpin oleh Paus Yohanes II itu, menjadi momentum bagi kaum muda maubere untuk melakukan aksi demonstrasi menentang pendudukan Militer Indonesia. Aksi itu dilakukan dihadapan Paus Yohanes II dan Presiden Republik Indonesia Haji Muhamad Soeharto yang saat itu mendampingi Paus Yohanes II berkunjung ke Dili serta dihadapan ribuan wartawan asing. Aksi tersebut menunjukan kepada seluruh dunia akan kebohongan Rezim Militer Indonesia dibawa pimpinan jenderal Soeharto.
Demonstrasi 12 oktober 1989 menyambut kunjungan Paus Yohanes Paus II Tasi Tolu. Aksi yang berlangsung selama tiga puluh menit dihadapan Presiden Republik Indonesia dan para wartawan asing tersebut merupakan awal dari ekspresi suara rakyat Timor-Leste yang selama itu terbungkam oleh senjata tentara nasional Indonesia. Kunjungan Paus Yohanes Paus II itu membuka kembali Timor–Leste kepada dunia atas apa yang selama kurung waktu itu bagi pemerintah Jakarta adalah masalah dalam negeri dan hanya segelintir orang yang masih belum menerima apa yang disebut INTEGRASI oleh Jakarta.
Kami para pemuda Timor Leste saat itu walaupun hanya bisa dihitung oleh jari dengan berani dan tekad bulat untuk mengbongkar kebohongan pemerintah Jakarta. Kami pemuda Timor – Leste yang berani berkorban segala-galanya untuk keadilan, kebebasan dan masa depan pendidikan kami demi perjuangan kemerdekaan melalui penentuan nasib sendiri bagi bangsa Timor Leste. Segala momentum kedatangan wartawan asing, kami manfaatkan untuk berteriak;

No comments:

Post a Comment