KAY RALA XANANA GUSMAO ADALAH KUNCI PENYELESAIAN PERANG DI TIMOR TIMUR
Dibacakan pada sidang Pengadilan Negeri Dili
Tanggal 31 Maret 1998
I. PENDAHULUAN
Saudara Hakim yang terhormat,
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada saudara Hakim atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya hari ini untuk menyampaikan pembelaan secara bebas tanpa paksaan apapun macamnya. Pada kesempatan yang emas ini, dihadapan saudara Hakim yang bertindak mewakili Pemerintah Indonesia, dan di hadapan para anggota ABRI yang berdiri di depan pintu sebelah kanan dan kiri, serta dihadapan sebagian rakyat Timor Timur yang masih hidup, dan selalu aktif mengikuti setiap persidangan terhadap kami orang-orang Timor Timur yang di mata Hukum Indonesia merupakan penjahat, sebelum memasukinya, saya mohon saudara Hakim memberikan waktu sedikit agar saya memberikan penghormatan untuk mengenang ratusan ribu rakyat Timor Timur yang telah mati karena menentang invasi pengecut serta memalukan pada 7 Desember 1975, bagi mereka yang mati dalam berbagai pembantaian dari tahun 1978-1979 di gunung Matebian, di kampung Kairaras pada tahun 1981, bagi yang mati dalam pembantaian yang sangat memalukan dalam demonstrasi damai pada tanggal 12 November 1991 di Santa Cruz, bagi mereka yang mati dalam penjara akibat penyiksaan dan tindakan tidak berperikemanusiaan, bagi mereka yang mati pada saat ditangkap dan dieksekusi, serta bagi mereka yang mati tanpa diketahui keberadaannya.
* * *
Pengorbanan mereka merupakan sumbangan besar bagi kemajuan dalam kesadaran Internasional mengenai Hak Asasi Manusia dalam mekanisme perlindungan PBB. Di mata Hukum Indonesia, kami rakyat Timor Timur yang ditangkap dan diadili sebagai seorang penjahat, karena tindakan kami yang sama, menentang invasi dan pencaplokan atas bangsa dan rakyat kami, rakyat Maubere. Maka tidak ada gunannya bagi saya untuk melakukan sebuah pembelaan berdasarkan prinsip-prinsip Hukum Indonesia, dan oleh karena itu hak yang telah diberikan kepada Tim Penasehat Hukum untuk menyusun pembelaan atas nama saya, juga saya cabut karena:
1. Sebagai Pengacara Indonesia, mereka, Tim Penasehat Hukum pasti hanya mengucapkan pasal-pasal Undang-undang dan hukum Indonesia untuk mengemis keadilan kepada diri saya. Jelas itu bertentangan dengan keinginan saya.
2. Di sini, di ruangan sidang pengadilan ini bukanlah tempat bagi saya untuk mengemis keadilan, sebab saya yakin Jakarta tidak akan pernah memberikannya kepada saya yang jelas-jelas menunjukkan diri sebagai musuh perang.
Sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa, apa yang saya sampaikan sendiri di depan persidangan ini bukanlah sebuah pembelaan tetapi sebagai upaya untuk mengingatkan tuan-tuan Hakim yang adalah juga budak-budak Pemerintah Soeharto yang sampai hari ini ikut menindas rakyat Maubere dan hak-haknya untuk merdeka. Jadi, kalaupun dikatakan pembelaan, maka hal itu bukan untuk membela kepentingan hukum pribadi saya untuk memperoleh setitik keadilan, tetapi adalah pembelaan terhadap kepentingan dan hak rakyat dan Tanah air saya, Timor Leste.
Saya tidak malu kalau tuan-tuan menyebut diri saya sebagai seorang penjahat seperti yang didakwakan pada saya, sebaliknya saya bangga karena kejahatan yang saya lakukan adalah kejahatan yang sama, suatu kejahatan yang menginginkan kebebasan bagi bangsa saya, yang selama dua puluh tiga tahun berada dibawah satu kekuasaan yang dipaksakan dengan cara kekerasan terhadap rakyat dan bangsa saya.
II. TENTANG KEWARGANEGARAAN
Saya adalah salah satu dari generasi penerus perlawanan rakyat Maubere, menentang invasi pengecut serta memalukan pada 7 Desember 1975, suatu pendudukan yang kriminal serta melanggar prinsip-prinsip hukum Internasional atas Timor Timur selama dua puluh tiga tahun ini. Saya berterus terang bahwa selama diperiksa, saya berperilaku seperti orang Indonesia asli dan memiliki KTP, namun bukan hanya saya sendiri yang memilikinya akan tetapi semua rakyat Maubere ber-KTP. Menurut saya, bahwa KTP yang saya miliki merupakan suatu tuntutan perjuangan, sekaligus sebagai pengganti ribuan rakyat Maubere yang telah dihancurkan oleh pendudukan militer Indonesia secara terencana dan sistematis.
Pada tanggal 15-16 September tahun yang lalu di Polres Dili, dalam pemeriksaan saya selalu menjawab setiap pertanyaan dari Polisi dan para Perwira-perwira Tinggi ABRI yang menanyakan saya tentang warga negara, di mana saya selalu menjawab dengan tegas bahwa menurut hukum Internasional saya bukan warga negara Indonesia. Namun saya menyadari bahwa setiap orang Timor Timur yang ditangkap berkaitan masalah Timor Timur akan selalu diadili, oleh Pemerintah yang sama, satu Pemerintah yang datang mengatasnamakan bangsa Indonesia dengan mesin pembantai ABRI, menindas, membunuh dan membantai seluruh rakyat Maubere yang tidak berdaya, satu Pemerintah yang datang dengan sistem yang sama, sistem kolonialisme, namun sistem kolonialisme ini lebih kasar dari sistem kolonialisme sebelumnya.
Hari ini dihadapan tuan-tuan, sebagai generasi penerus perlawanan rakyat Maubere, secara terbuka saya mengatakan bahwa saya bukan warga negara Indonesia, tetapi saya tetap warga negara Portugis, sebagaimana semua Timor Timur dan sesuai dengan naluri saya sendiri, saya adalah warga negara Timor Leste.
Sejak awal, saya telah menolak kewenangan suatu peradilan Indonesia untuk mengadili saya. Penolakan itu secara eksplisit telah saya tunjukan melalui setiap aksi dalam setiap proses Persidangan, yakni mengelar spanduk, merobek replik tuan Jaksa, mogok makan, mogok sidang dan mogok bicara, tetapi tuan-tuan Hakim tidak pernah menyadarinya. Karena semua peradilan Indonesia atas para pejuang kemerdekaan di Timor Timur tidak pernah sesuai dengan standar hukum Nasional Indonesia yang telah diagungkannya, apalagi hukum Internasional sesuai Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa mengenai Timor Timur, tahun 1997 yang lalu, yang menegaskan bahwa semua negara anggota memiliki kewajiban untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dasar seperti yang telah dinyatakan dalam Piagam PBB dan Deklarasi Semesta Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak Asasi Manusia dan instrumen-instrumen lain yang harus diterapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai berikut ini:
a. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam menjamin penghormatan penuh bagi hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar rakyat Timor Timur.
b. Memastikan pembebasan awal semua rakyat Timor Timur yang ditahan dan dihukum karena alasan politik.
c. Semua peradilan di Timor Timur harus dilaksanakan sesuai dengan standar internasional. "Kapan?"
III. TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL Masalah Timor Timur adalah tanggungjawab masyarakat Internasional, suatu masalah hukum Internasional, yang mempertaruhkan prinsip-prinsip universal, suatu kasus dimana norma-norma dekolonisasi PBB telah dimanipulasi, oleh karenanya merupakan suatu kasus pelanggaran yang menyolok tentang prinsip-prinsip gerakan Non Blok, dan pola universal hukum perdamaian serta keadilan.
Pengadilan ini sebenar-benarnya tidak berhak untuk mengadili saya dengan teman seperjuangan saya, apalagi dengan tuduhan makar terhadap Pemerintah Indonesia. Namun saya tahu bahwa segala sesuatu sudah diatur dan kami para pejuang kemerdekaan harus dihukum.
PBB mengakui sesuai hukum bagi segenap cara untuk melawan kehadiran segala bentuk apapun Penjajahan di segenap bangsa di dunia, tempat rakyat-rakyat berjuang untuk kemerdekaan. Perjuangan FALINTIL dan CNRM di mata masyarakat Internasional di tempatkan dalam konteks tersebut dan berdiri di atas alias bukan di bawah hukum Indonesia. Para Komandan-komandan FALINTIL akan selalu berbicara kepada dunia Internasional, dan Pemerintah Indonesia khususnya ABRI ketika setiap prajuritnya di medan pertempuran, membawa maut sekaligus kebenaran menembus keangkuhan, kesombongan dan kebohongan militer Indonesia.
Tuan Jaksa dalam tuntutannya mengatakan bahwa rakyat Timor Timur telah berintegrasi dengan Republik Indonesia, tetapi ia tidak menyinggung masalah pokok yakni pelanggaran hukum atau pencaplokan dengan cara kekerasan. (tahu atau tidak hukum Internasional?) Masalah inti dalam pengadilan ini adalah apa yang disebut "Proses Integrasi"
IV. KEBENARAN MUTLAK MENURUT JAKARTA
Di Polres Dili saya diwawancarai oleh Pusat Penerangan ABRI dari Jakarta untuk sebuah liputan khusus mengenai pembangunan di Timor Timur yang menurut Pemerintah Indonesia merupakan suatu kebenaran mutlak. Berbicara tentang apa yang disebut sebagai kebenaran politik adalah sama halnya dengan berbicara tentang etika, legitimasi kekuasaan, hukum dan norma-norma universal serta hak asasi manusia (hukum normatif) yang digunakan sebagai orientasi dasar suatu tindakan politik, sehingga diakui kebenarannya dan dapat diterima secara Internasional. Kebenaran yang saya maksud disini adalah kebenaran mengenai masalah Timor Timur menurut versi pemerintah Indonesia, yang notabene, selalu mengakui diri sebagai pihak yang paling benar. Namun di lain pihak Pemerintah Indonesia selalu berhadapan dengan aksi-aksi dari kami pihak perlawanan, FALINTIL di front bersenjata, CNRM di front diplomatik dengan dukungan dari dunia Internasional. Kenyataan ini harus dihadapi oleh rejim Soeharto sebab Pemerintah Indonesia telah melangkahi hukum-hukum normatif yang berlaku secara universal/Internasional, yang mengikat semua subjek pergaulan Internasional. Menurut norma-norma itu pula suatu tindakan dapat dikatakan memiliki dasar materiil untuk di benarakan/disalahkan.
Pemerintah Indonesia selalu mengklaim bahwa Timor Timur sudah berintegrasi kedalam wilayah kesatuan Republik Indonesia. Jika benar, maka itu hanyalah anggapan subjektif yang menjadi keyakinan politik, tanpa etika politik, di kalangan pemerintah Indonesia, dan orang Timor Timur yang karena merasa beruntung mendukung integrasi, tergantung pada suatu kondisi sosial ekonomi tertentu. Pembangunan di Timor Timur dipandang oleh pemerintah Indonesia dan para boneka-bonekanya pada dasarnya sebagai suatu kebenaran mutlak yang mengindikasikan bahwa Indonesia bukanlah negara kolonialis. Namun di sisi lain, kelihatannya menggambarkan gengsi pemerintah Indonesia terhadap Portugal, mengingat selama 450 tahun Portugal sama sekali tidak memperhatikan pembangunan Timor Timur, baik fisik maupun materiil. Kebenaran tidak pernah dapat diukur dengan adu gengsi, saling melemparkan kesalahan antara dua kolonialis yaitu pemerintah Indonesia dan Portugal.
Penjajah adalah Penjajah dan dimana mana sama, sehingga tidak ada penjajahan yang dibenarkan di bumi ini, "oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan..." Demikian bunyi alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Bangsa Indonesia, yang dibanggakan oleh Soeharto, atau lebih tepat jika kita katakan sebagai kebanggaan nasonalisme dan Internasionalisme Indonesia.
Kalau hari ini, dalam hal pencaplokan atas bangsa dan Tanah air kami, Timor Timur, yang kemudian dijadikkan sebagai Propinsi yang ke- 27, seperti dilakukan Iraq atas Kuwait, hanya karena kesalahan Portugal meninggalkan Timor Timur dalam keadaan perang saudara. Tindakan tersebut tidak sama dengan rakyat Timor Timur memilih Integrasi dan kita punya hak untuk merdeka. Maka sama saja dalam hal ini pemerintah Indonesia, "menyembunyikan kepala, buntutnya kelihatan", karena berdasarkan statistik, Portugal kalah dalam skor pembangunan, sedangkan Pemerintah Indonesia menang dalam skor membantai rakyat Timor Timur lebih dari sepertiga penduduk yang ada. Lebih dari itu, untuk memberikan kebenaran bukanlah Pemerintah Indonesia, bukan pula Pemerintah Portugal, termasuk segelintir orang yang selalu mengatasnamakan integrasi. Rakyat Maubere-lah yang harus di beri kesempatan dan hak untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri.
Berbicara mengenai proses Integrasi Timor Timur, Romo Mangunwijaya pada acara pembedahan buku Mgr. Belo di Universitas Atmajaya - Jakarta, mengatakan "... Seharusnya kita mesti datang ke Timor Timur bertanya kepada mereka (Rakyat Timor Timur) mau atau tidak bergabung sama kami? atau mau apa tidak ini rencana kami! Kalau tidak...! (Wis) sudah, tidak apa-apa. Soalnya kita memahami, menghayati dan lebih-lebih sebagai orang beragama atau yang berbudaya kita harus menyakini bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan merupakan Anugerah Tuhan Yang Maha Esa."
Apa yang terjadi di Timor Timur adalah bertindak bertentangan dengan budaya Jawa dan bertentangan dengan kehendak rakyat Maubere! Indonesia, di bawah pimpinan Soeharto mencaplok bangsa kami dengan kekerasan, menghancurkan, membunuh dan menbantai banyak rakyat yang tidak berdosa, seolah-olah budaya kekerasan dewasa ini dapat dibenarkan sebagai nilai-nilai yang paling tertinggi kebenarannya! Integrasi tidak diterima menurut adat budaya Jawa.
Tidak ada legitimasi kultural dan lebih-lebih melanggar hak paling mendasar rakyat Maubere sekaligus memperkosa nilai kemerdekaan yang tertera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi yang terhormat dan mulia itu adalah Undang-Undang Dasar-nya! Sedangkan yang amat sangat tidak terhormat adalah Rejim Soeharto!
Pengadilan ini menyatakan bahwa tindakan saya melawan Pemerintah yang sah yaitu Pemerintah Republik Indonesia. Sebuah Pemerintahan yang disahkan melalui apa yang disebut Proklamasi Pantai Bali. (Deklarasi Balibo, yang pada kenyataannya ditandatangani di Bali, Indonesia, di Hotel Bali Beach, pada 30 November 1975, oleh beberapa orang Timor Timur). Sedangkan PBB, hingga saat ini tidak mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur, suatu kedaulatan yang dipaksakan dengan mengunakan pasukan, dengan praktek kekerasan, serta pelangaran Hak Asasi Manusia yang paling pokok dengan kekerasan secara sistematis. Pernyataan Balibo ditanda tangani dengan darah empat wartawan Australia yang dibunuh oleh pasukan Indonesia selama serangan terhadap Desa Balibo. Jadi apa yang sekarang dinamakan Pemerintah sah dibentuk diatas mayat-mayat orang-orang Timor Timur yang dibantai dari tahun 1975 hingga 1991 di Santa Cruz, apakah suatu Pemerintahan semacam itu dapat menyatakan diri sah dan memiliki kekuatan hukum?
No comments:
Post a Comment